Dugaan Kekerasan di SMPN 5 Karawang: Rapat Klarifikasi Malah Bahas Absensi, Auditor Hukum Angkat Suara

0
Caption: Dugaan Kekerasan di SMPN 5 Karawang: Rapat Klarifikasi Malah Bahas Absensi, Auditor Hukum Angkat Suara

Karawang – Dunia pendidikan di Kabupaten Karawang kembali tercoreng. Seorang siswa kelas VII C SMPN 5 Karawang, Nasihan Fahmi, mengaku trauma hingga enggan masuk sekolah lantaran diduga dijambak oleh gurunya sendiri bernama Adim saat kegiatan senam di lapangan sekolah sepekan lalu.

Kasus ini sempat dibawa ke rapat klarifikasi yang digelar di ruang Kepala SMPN 5 Karawang pada Senin (22/9/2025). Namun, alih-alih menjadi ruang suara bagi korban dugaan tindak kekerasan, jalannya rapat justru melenceng. Fokus utama bukan pada insiden penjambakan yang menimpa Nasihan Fahmi, melainkan hanya berkutat pada hitung-hitungan absensi siswa.

Sikap ini memantik keprihatinan berbagai pihak, termasuk dari kalangan praktisi hukum. Putra Agustian, S.H., C.L.A., Auditor Hukum, menegaskan bahwa kasus dugaan kekerasan guru terhadap murid tidak bisa dipandang sebelah mata.

“Sekolah dan guru seharusnya melakukan pengawasan yang ketat untuk mencegah tindak kekerasan. Sosialisasi dan psikoedukasi kepada siswa maupun guru tentang pentingnya pencegahan kekerasan wajib dilakukan agar kesadaran bersama dapat terbentuk,” tegasnya saat dikonfirmasi, Selasa (23/9/2025).

Putra menambahkan, jika terbukti, tindak kekerasan guru terhadap murid memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pelaku bisa dikenakan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp72 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1).

Tak hanya pidana, sanksi administratif juga dapat dijatuhkan. Mulai dari pencabutan izin mengajar hingga tindakan disiplin lainnya, tergantung kebijakan sekolah maupun instansi pendidikan terkait.

“Keluarga korban dapat mengajukan pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lembaga perlindungan anak, maupun Dinas Pendidikan. Jalur hukum juga terbuka berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Negara hadir untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, apalagi di ruang pendidikan,” pungkas Putra.

Kasus ini kini menjadi sorotan publik, tidak hanya soal dugaan kekerasan yang dialami Nasihan Fahmi, tetapi juga bagaimana sekolah merespons persoalan serius tersebut. Alih-alih fokus pada trauma korban, rapat klarifikasi yang lebih menyoroti absensi siswa memunculkan tanda tanya besar. Benarkah keselamatan dan perlindungan anak sudah menjadi prioritas di sekolah?

Penulis: Alim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini