KARAWANG | ULASBERITA.CLICK | ibuan mata terpukau menatap langit Karawang Timur saat deretan layang-layang raksasa berwarna-warni menghiasi udara dalam Festival Layang-Layang Raksasa 2025, Minggu (13/7), di kawasan Perumahan Socia Garden, Palumbonsari. Namun di balik langit yang cerah dan senyum pengunjung, awan gelap menyelimuti relasi antara panitia dan media lokal.
Digadang sebagai festival budaya terbesar musim liburan, acara ini tidak hanya menampilkan pesona layang-layang dari penjuru Nusantara, tetapi juga lomba mewarnai, workshop edukatif, hingga pertunjukan komunitas nasional. Sebuah pameran harmoni, setidaknya di permukaan.
Namun, di balik kemasan manis itu, muncul kekecewaan mendalam dari para pelaku media lokal. Mereka merasa diabaikan, tidak diundang, bahkan tak diberi ruang untuk meliput dengan layak.
“Kami datang tanpa undangan, tapi tetap berharap dilibatkan. Nyatanya, justru seperti dianggap tak ada. Padahal kami sudah dari awal mengawal kegiatan ini,” keluh seorang jurnalis lokal, dengan nada getir.
Beberapa media lokal menyebut tidak menerima informasi teknis peliputan secara resmi. Bahkan, saat datang secara independen, mereka merasa dicurigai dan tidak difasilitasi. Ironisnya, media-media nasional dari Jakarta justru diberi karpet merah.
Retorika CSR Tanpa Keterbukaan
Perumahan Socia Garden, sebagai lokasi acara, mengusung citra “Green and Smart Living.” Festival ini pun diklaim sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) Arrayan Group, didukung oleh raksasa perbankan seperti Bank Mandiri, BRI, BTN, hingga Deli.
Namun ketika acara publik yang dibiayai korporasi justru tertutup bagi media lokal yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan masyarakat Karawang, maka nilai CSR itu layak dipertanyakan: benarkah untuk masyarakat, atau hanya untuk pencitraan?
Pernyataan normatif dari panitia, bahwa urusan media ditangani internal justru mempertegas lemahnya manajemen komunikasi dan kurangnya penghormatan terhadap jurnalisme lokal. Seolah-olah, suara warga Karawang tak dianggap cukup penting untuk didengar.
Preseden Buruk untuk Budaya dan Komunitas
Festival budaya seharusnya menjadi ruang inklusif menyatukan, bukan memisahkan. Menjembatani, bukan menyingkirkan. Ketika media lokal diperlakukan bak tamu tak diundang di rumahnya sendiri, maka ini bukan sekadar miskomunikasi, tetapi gejala sistemik: bahwa pembangunan komunitas seringkali hanya sebatas narasi, bukan partisipasi.
Pertanyaan pun menggantung di langit yang baru saja dipenuhi layang-layang: Siapa yang benar-benar diuntungkan dari festival ini? Dan siapa yang justru dikorbankan?
Penulis: Alim