Negara Tertib pada yang Lemah, Gagap pada yang Membutuhkan

0

KARAWANG | ULASBERITA.CLICK | Pemerintah kita memang piawai dalam menertibkan yang lemah, namun selalu gagap saat harus memberdayakan mereka. Di tengah gelombang pengangguran, lonjakan harga bahan pokok, dan jurang ketimpangan ekonomi yang makin lebar, yang diprioritaskan justru penertiban kawasan. Targetnya jelas: warung tenda, pedagang kaki lima, gerobak nasi goreng, dan lapak kecil yang menjadi nafas hidup jutaan rakyat.

Ironisnya, setiap penggusuran selalu dibalut dengan istilah teknokratik: “penataan ruang”, “optimalisasi kawasan”, “penegakan Perda”. Namun di balik jargon tersebut tersembunyi kenyataan yang tak pernah mau mereka akui, ini adalah bentuk abai negara terhadap hak hidup kaum miskin, kegagalan dalam menciptakan ruang ekonomi yang adil, dan cermin dari sikap lalai terhadap struktur ekonomi informal, yang justru menyangga sebagian besar denyut kota.

Di balik bangunan yang mereka cap “liar”, ada cerita keterdesakan. Di balik lapak yang mereka anggap “mengganggu estetika kota”, ada keluarga yang harus makan, anak-anak yang harus sekolah, dan harapan kecil untuk bertahan hidup. Namun negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, malah lebih sering tampil sebagai algojo berseragam yang menyapu bersih suara-suara perut lapar.

Mengapa tidak diawali dengan pertanyaan yang lebih jujur dan manusiawi?

Mengapa mereka berdagang di situ?

Mengapa bukan di kios resmi?

Mengapa bukan bekerja kantoran seperti yang diidealkan kebijakan?

Jawabannya sederhana, dan menyakitkan: Karena lapak legal terlalu mahal.

Karena izin usaha kecil terlalu berbelit dan penuh pungli.

Karena tak ada cukup pekerjaan formal untuk menyerap mereka.

Karena negara tak benar-benar hadir di sisi mereka.

Maka ketika pemerintah berkata: “Kami sudah sosialisasi, beri tenggat waktu, semua sesuai prosedur”, itu bukan solusi. Itu hanya cara sopan untuk mengatakan: “Kami tidak peduli pada masalahmu.”

Padahal, bila pemerintah sungguh ingin bekerja untuk rakyat, bukan semata untuk investor atau citra kota, ada langkah-langkah nyata yang bisa diambil:

Menyediakan zona legal dan terintegrasi bagi PKL.

Menyiapkan relokasi strategis, bukan hanya sekadar “digusur lalu dibuang”.

Memberikan akses kredit mikro, pembinaan usaha, dan perlindungan hukum, bukan razia dadakan tiap minggu.

Tapi tentu saja, semua itu jauh lebih sulit dan tidak semenarik panggung konferensi pers bertema “Kota Bebas PKL 2025” di depan kamera televisi.

Yang terjadi hari ini, kota memang makin bersih dari pedagang kecil, tapi juga makin kotor dari nurani dan rasa keadilan.

Yang tertib hanyalah spanduk dan aspal.

Yang tersingkir adalah mereka yang diam-diam menghidupi kota dari pinggir jalan.

Oleh Syuhada Wisastra: Pemerhati Kebijakan Publik, Praktisi HR & GA & Ketua IWO Indonesia DPD Karawang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini