“Tradisi Gelap” di Balik Banprov Karawang: Kepala Desa Bongkar Budaya Amplop di UPTD Tirtajaya

0
Caption: “Tradisi Gelap” di Balik Banprov Karawang: Kepala Desa Bongkar Budaya Amplop di UPTD Tirtajaya

Karawang – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam proses pengajuan Bantuan Provinsi (Banprov) di Kabupaten Karawang semakin menemukan titik terang. Sejumlah kepala desa secara terbuka mengakui adanya kebiasaan pemberian “amplop” kepada pejabat Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tirtajaya sebagai syarat tak tertulis untuk memperlancar pencairan bantuan pemerintah provinsi.

“Saya akui, selama menjabat kepala desa, setiap mengajukan proposal Banprov memang ada kebiasaan memberi amplop,” ujar seorang kepala desa kepada wartawan, Sabtu (23/8/2025).

Menurut pengakuannya, proposal Banprov tidak akan diproses tanpa tanda tangan pejabat UPTD Tirtajaya yang membawahi wilayah Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Jayakerta, hingga Rengasdengklok. Amplop diberikan setelah dokumen ditandatangani, menjadikannya seperti prosedur wajib di balik birokrasi resmi.

“Biasanya setelah ditandatangani, baru uang amplopnya diberikan. Itu sudah jadi kebiasaan. Saya sendiri memberikan amplop sesuai kesepakatan,” jelasnya.

Nominal amplop pun bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per proposal. “Saya tanya ke rekan-rekan kepala desa lain, ada yang kasih Rp200 ribu, ada Rp300 ribu. Jadi kalau mau ajukan proposal, saya siapkan sesuai itu. Seolah-olah wajib,” tambahnya.

Lebih jauh, kepala desa ini menegaskan bahwa budaya amplop hanya terjadi dalam pengajuan Banprov. “Kalau dibilang pungli atau tidak, saya kurang tahu. Tapi setiap ajukan proposal Banprov ke UPTD, pasti kasih amplop. Kalau program lain, seperti Dana Desa (DD), Dana Bagi Hasil (DBH), atau Siltap, tidak ada begituan,” katanya menegaskan.

Pengakuan sejumlah kepala desa tersebut memperkuat dugaan adanya “tradisi gelap” di balik proses pencairan Banprov. Fakta bahwa pejabat desa aktif berani berbicara terang-terangan menunjukkan bahwa praktik ini bukan sekedar isu liar, melainkan sistem yang telah mengakar dan diwariskan bertahun-tahun.

Kini, perhatian publik tertuju pada pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Masyarakat menuntut langkah tegas untuk membongkar dugaan pungli berjamaah yang selama ini membebani desa-desa setiap kali hendak mengakses hak bantuan dari pemerintah provinsi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini