Klarifikasi SMPN 5 Karawang: Absensi Menutupi Dugaan Kekerasan?

0
Caption: Klarifikasi SMPN 5 Karawang: Absensi Menutupi Dugaan Kekerasan?

Karawang – Rapat klarifikasi di ruang Kepala SMPN 5 Karawang, Senin (22/9/2025), sejatinya diharapkan menjadi ruang suara bagi korban dugaan tindak kekerasan penjambakan. Namun, jalannya rapat klarifikasi justru melenceng. Alih-alih membedah kasus dugaan tindak kekerasan penjambakan terhadap siswa kelas VII C, Nasihan Fahmi, fokus rapat klarifikasi malah terhenti pada hitung-hitungan absensi.

Angka Mengalahkan Suara

Data ketidakhadiran Fahmi 2 hari di bulan Juli, 5 hari di bulan Agustus, dan nihil sepanjang September tiba-tiba menjadi sorotan utama. Seolah-olah, persoalan kehadiran lebih genting ketimbang dugaan tindak kekerasan penjambakan oleh seorang guru.

Kepala SMPN 5 Karawang, Uus Rustandi, berusaha meredam suasana. “Masalah pendidikan harus diselesaikan dengan kebersamaan,” ujarnya dengan nada adem.

Sementara guru pembina OSIS, Adim yang disebut dalam tudingan dugaan tindak kekerasan penjambakan mengeluarkan klarifikasi lunak. “Saya hanya menegur rambut gondrong, bukan bermaksud menyakiti. Kalau teguran saya menyinggung, saya mohon maaf.”

Guru Dibela, Korban Terpinggirkan

Pernyataan Adim segera mendapat dukungan dari perwakilan Disdikpora Karawang, Rusmana. “Tindakan disiplin guru tidak bisa serta merta dikriminalisasi. Pendidikan dimulai dari hal kecil, termasuk kehadiran dan tata tertib siswa,” tegasnya.

Narasi rapat klarifikasi pun bergeser. Guru diposisikan sebagai penegak disiplin, sementara Fahmi yang semestinya dilindungi justru dipandang sebagai siswa lalai.

Akhir rapat klarifikasi melahirkan keputusan kompromistis. Fahmi tetap bersekolah dengan catatan kehadiran diawasi orang tua, sedangkan guru diminta menegakkan aturan lebih bijak.

Pertanyaan yang Menggantung

Namun publik patut bertanya. Apakah dugaan tindak kekerasan penjambakan otomatis selesai hanya karena guru menyampaikan klarifikasi? Mengapa suara Fahmi, sebagai korban, hampir tak terdengar dalam rapat klarifikasi yang seharusnya membela haknya?

Ada kekhawatiran serius. Jangan-jangan “disiplin” dijadikan tameng untuk menutupi dugaan tindak kekerasan penjambakan.

Refleksi untuk Dunia Pendidikan

Kasus ini menyibak wajah buram pendidikan. Klarifikasi berubah menjadi pembenaran, musyawarah lebih sibuk menjaga citra institusi ketimbang melindungi anak.

Sekolah mestinya bukan sekedar tempat belajar, tetapi ruang aman untuk tumbuh kembang siswa. Jika suara korban terus dipinggirkan, pendidikan kehilangan ruh utamanya.

Pertanyaan besar pun bergema. Apakah sekolah benar-benar sedang mendidik, atau sekedar sibuk melindungi dirinya sendiri?

Penulis: Alim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini